Hari ini saya ingin membahas tentang bahayanya rokok.
Tapi sebelum itu, kita akan membahas Ada apa dengan Rokok?
Mari kita amati barang-barang konsumsi yang dijual di pasar, toko, warung ataupun supermarket. Biasanya pada kemasannya selalu dicantumkan daftar bahan-bahan yang terkandung dalam produk tersebut atau biasa disebut komposisi. Hal ini untuk menjamin perlindungan bagi konsumen dari produk yang berbahaya dan tidak layak untuk dikonsumsi. Pertanyaan pertama, Lalu mengapa dalam kemasan rokok tidak dicantumkan komposisinya?
Sebatang rokok mengandung lebih dari 4000 macam zat yang berbahaya dan 43 diantaranya adalah karsinogen atau penyebab kanker. dan yang paling berbahaya adalah kandungan zat adiktif yang membuat ketergantungan pada rokok, sehingga perokok tidak punya pilihan lain kecuali untuk terus menkomsumsi rokok karena kecanduan. Ini berarti keuntungan jangka panjang bagi industri rokok.
Itulah sebabnya, industri rokok enggan mencantumkan komposisi pada kemasan rokok karena apabila konsumen mengetahui ada ribuan zat berbahaya yang terkandung dalam sebatang rokok akan berakibat orang untuk berpikir dua kali menkonsumsi rokok.
Apakah rokok sangat berisiko? Ya, jelas saja iya. Rokok adalah pembunuh.
Menurut survey WHO, dalam abar 21 satu miliar orang mati didunia dikarenakan rokok. 5,4 Juta orang didunia mati setiap tahun dikarenakan rokok. Atau 13.400 kematian sehari didunia. Atau 559 kematian tiap jam didunia. Atau 1 kematian tiap 6,4 detik didunia, Itu semua dikarenakan rokok. Dan 80% terjadi di negara berkembang.
Untuk di Indonesia, pada tahun 2001 tercatat kematian akibat rokok mencapai 427.928 orang. 35.662 tiap bulan. 1172 tiap hari. 49 tiap jam.
Apakah dampak rokok hanya pada kematian?
Jelas saja tidak, sangat banyak dampak-dampak negatif dari rokok, salah satunya Dampak rokok terhadap kehidupan Sosial dan Ekonomi masyarakat.
Pada tahun 2005, Survei Sosial Ekonomi Nasional mencatat pengeluaran perbulan rumah tangga perokok (kepala keluarganya merokok) untuk membeli rokok :
artinya, bahwa rumah tangga perokok lebih mengutamakan membeli rokok dari pada membeli makanan bergizi, pendidikan dan kesehatan untuk keluarganya. Hal ini sangat berdampak serius bagi kesejahteraan keluarga, teruatam anak-anak (apalagi keluarga miskin). Maka bisa dipastikan, anak-anak tersebut akan terancam kurang gizi, putus sekolah, tidak mendapat penanganan yang layak ketika sakit, dan hal-hal buruk lainnya.
Begitu pula kematian perokok diusia produktif (30-69 tahun) yang mencapai setengah dari 427.948 orang pada tahun 2001, ini berarti rumah tangga kehilangan kepala keluarga, pendapatan, tabungan dan investasi. Hal ini mengakibatkan anak-anak putus sekolah dan mendorong anak-anak terpaksa berkerja untuk membantu membiayai keluarga atau mungkin menghidupi dirinya sendiri.
Dan berikut ini ada sedikit kutipan yang saya ambil dari Berita Liputan 6 SCTV : ROKOK VS SUSU (Ayah pentingkan rokok ketimbang susu anak)
(Liputan 6 SCTV, Jakarta) Berbagai tekanan ekonomi membuat pemenuhan gizi anak terkadang terabaikan. Bahkan untuk memberikan ASI pun kemiskinan kerap kenjadi kendala. Ditengah konsisi ini saudara, ironisnya tidak jarang kaum lelaki tidak sadar dan malah lebih banyak membelanjakan uang untuk rokok ketimbang susu anak.
Diusianya yang baru lima bulan, Esti tengah membutuhkan asupan ASI. Sayang Sang Ibu hanya bisa menemuinya sebulan sekali karena pekerjaannya. Ayah Esti pun tak bisa berbuat banyak. Demi rupiah, ia rela berganti peran dengan isterinya. Maka jadilah Esti bergantung pada susu formula.
Tapi ironisnya, dotengah keterbatasan ekonomi, belanja rokok sang ayah malah lebih besar ketimbang membeli susu anak. Rp 250.000 untuk rokok dan Rp 190.000 untuk susu anak perbulan. Itupun ia mengaku sudah mengurangi menkonsumsi rokok.
Liputan 6 : "Berapa Pak, pengeluaran Bapak untuk beli susu? Berapa Pak, tiap bulannya?"
Ayah : " Seratus lah"
Liputan 6 : "Kalau untuk membeli rokok berapa Pak?"
Ayah : "Buat beli rokok? Waduh,, Ya Sembilan ribu aja dikali 30 berapa itu."
Kecukupan gizi anak amat terkantung pada pola hidup orang tuanya. Semestinya ini menjadi kesadaran kaum bapak pula.
Sumber : Komisi Nasional Perlindungan Anak
Tapi sebelum itu, kita akan membahas Ada apa dengan Rokok?
Mari kita amati barang-barang konsumsi yang dijual di pasar, toko, warung ataupun supermarket. Biasanya pada kemasannya selalu dicantumkan daftar bahan-bahan yang terkandung dalam produk tersebut atau biasa disebut komposisi. Hal ini untuk menjamin perlindungan bagi konsumen dari produk yang berbahaya dan tidak layak untuk dikonsumsi. Pertanyaan pertama, Lalu mengapa dalam kemasan rokok tidak dicantumkan komposisinya?
Sebatang rokok mengandung lebih dari 4000 macam zat yang berbahaya dan 43 diantaranya adalah karsinogen atau penyebab kanker. dan yang paling berbahaya adalah kandungan zat adiktif yang membuat ketergantungan pada rokok, sehingga perokok tidak punya pilihan lain kecuali untuk terus menkomsumsi rokok karena kecanduan. Ini berarti keuntungan jangka panjang bagi industri rokok.
Itulah sebabnya, industri rokok enggan mencantumkan komposisi pada kemasan rokok karena apabila konsumen mengetahui ada ribuan zat berbahaya yang terkandung dalam sebatang rokok akan berakibat orang untuk berpikir dua kali menkonsumsi rokok.
Apakah rokok sangat berisiko? Ya, jelas saja iya. Rokok adalah pembunuh.
Menurut survey WHO, dalam abar 21 satu miliar orang mati didunia dikarenakan rokok. 5,4 Juta orang didunia mati setiap tahun dikarenakan rokok. Atau 13.400 kematian sehari didunia. Atau 559 kematian tiap jam didunia. Atau 1 kematian tiap 6,4 detik didunia, Itu semua dikarenakan rokok. Dan 80% terjadi di negara berkembang.
Untuk di Indonesia, pada tahun 2001 tercatat kematian akibat rokok mencapai 427.928 orang. 35.662 tiap bulan. 1172 tiap hari. 49 tiap jam.
Apakah dampak rokok hanya pada kematian?
Jelas saja tidak, sangat banyak dampak-dampak negatif dari rokok, salah satunya Dampak rokok terhadap kehidupan Sosial dan Ekonomi masyarakat.
Pada tahun 2005, Survei Sosial Ekonomi Nasional mencatat pengeluaran perbulan rumah tangga perokok (kepala keluarganya merokok) untuk membeli rokok :
- 2,3 kali lipat lebih besar dari pengeluaran untuk membeli daging
- 3,4 kali lipat lebih besar dari pengeluaran untuk membeli telur dan susu
- 3,2 kali lipat lebih besar dari pengeluaran untuk pendidikan
- 2,7 kali lipat lebih besar dari pengeluaran untuk kesehatan
artinya, bahwa rumah tangga perokok lebih mengutamakan membeli rokok dari pada membeli makanan bergizi, pendidikan dan kesehatan untuk keluarganya. Hal ini sangat berdampak serius bagi kesejahteraan keluarga, teruatam anak-anak (apalagi keluarga miskin). Maka bisa dipastikan, anak-anak tersebut akan terancam kurang gizi, putus sekolah, tidak mendapat penanganan yang layak ketika sakit, dan hal-hal buruk lainnya.
Begitu pula kematian perokok diusia produktif (30-69 tahun) yang mencapai setengah dari 427.948 orang pada tahun 2001, ini berarti rumah tangga kehilangan kepala keluarga, pendapatan, tabungan dan investasi. Hal ini mengakibatkan anak-anak putus sekolah dan mendorong anak-anak terpaksa berkerja untuk membantu membiayai keluarga atau mungkin menghidupi dirinya sendiri.
Dan berikut ini ada sedikit kutipan yang saya ambil dari Berita Liputan 6 SCTV : ROKOK VS SUSU (Ayah pentingkan rokok ketimbang susu anak)
(Liputan 6 SCTV, Jakarta) Berbagai tekanan ekonomi membuat pemenuhan gizi anak terkadang terabaikan. Bahkan untuk memberikan ASI pun kemiskinan kerap kenjadi kendala. Ditengah konsisi ini saudara, ironisnya tidak jarang kaum lelaki tidak sadar dan malah lebih banyak membelanjakan uang untuk rokok ketimbang susu anak.
Diusianya yang baru lima bulan, Esti tengah membutuhkan asupan ASI. Sayang Sang Ibu hanya bisa menemuinya sebulan sekali karena pekerjaannya. Ayah Esti pun tak bisa berbuat banyak. Demi rupiah, ia rela berganti peran dengan isterinya. Maka jadilah Esti bergantung pada susu formula.
Tapi ironisnya, dotengah keterbatasan ekonomi, belanja rokok sang ayah malah lebih besar ketimbang membeli susu anak. Rp 250.000 untuk rokok dan Rp 190.000 untuk susu anak perbulan. Itupun ia mengaku sudah mengurangi menkonsumsi rokok.
Liputan 6 : "Berapa Pak, pengeluaran Bapak untuk beli susu? Berapa Pak, tiap bulannya?"
Ayah : " Seratus lah"
Liputan 6 : "Kalau untuk membeli rokok berapa Pak?"
Ayah : "Buat beli rokok? Waduh,, Ya Sembilan ribu aja dikali 30 berapa itu."
Kecukupan gizi anak amat terkantung pada pola hidup orang tuanya. Semestinya ini menjadi kesadaran kaum bapak pula.
Sumber : Komisi Nasional Perlindungan Anak
0 comments:
Post a Comment